Seperti Sebuah Gambar Keluarga; dimana kita berdua tidak pernah ada
Kutulis surat ini, sementara kubiarkan senyummu sesekali hinggap di belakang benakku. Ingin kutulis semua yang tak satu potongpun bisa kusampaikan langsung padamu. Ketika tidak mungkin lagi aku menyentuhmu di luar bayangan yang ada di kepalaku sendiri.
Aku harus berhenti sejenak dari perjalanan kali ini, my solitary journey, perjalanan menemukan apa yang berharga dari hidup. Karena tiba-tiba ada yang terasa begitu dekat dan indah, membuncah-buncah di kepala dan dada, dengan kehadiranmu. Sampai batas tertentu aku tetap saja begerak antara superego, ego dan pertanyaan-pertanyaan yang harus aku jawab sendiri tentangmu. Dan sebuah ide yang tidak hanya bermakna tunggal. Tapi itu tidak mungkin lagi. Eksistensiku tidak punya arti apa-apa lagi buatmu, jika aku tetap bertahan seperti yang sering terlalu indah kubayangkan. Selalu saja kemudian aku merasa begitu tolol menafsirkan semuanya. Tidak pernah selesai dengan kalimat-kalimat pendek dengan satu kesimpulan.
Kita tak punya cukup mantera untuk menyihir dunia mimpi yang indah ini terus menerus. Kita bahkan kehabisan kata, lalu sesekali akan terucap bahwa cinta kita mungkin "nonsens", pun rindu yang pahit ini. Dan aku tidak bisa bertahan pada batas mimpi dan kenyataan. Tak ada ruang, untuk menggemakan rindu yang menggigil, memanggilmu untuk datang. Seorang penyair menulis:
....
bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
dan sebuah jadwal yang lain?
sebuah ranjang & ruang rutin, yang setia,
seperti sebuah gambar keluarga
(dimana kita, berdua, tak pernah ada?)
...
Bukankah kita sering kemudian lantas jadi lebih mudah lupa dan memaafkan? Oh tidak, barangkali kali ini bahkan tidak ada maaf. Tidak untuk sesuatu yang sekonyol yang bisa kubayangkan dari orang yang melihat tentang kita. Di sela-sela kode-kode program yang aku tulis, seringkali gemerlap pikiranmu atau kerling matamu menyelinap, membuatku mesti berhenti sejenak, sekedar menyeka peluh. Betapa susahnya ternyata, melakukan apa yang sering aku tertawakan sendiri, melupakanmu...
Tapi kamu tak perlu kuatir, ada mekanisme tertentu padaku yang diturunkan dari tradisi. Dimana pada tiap jebakan kebuntuan rasa dan nalar, aku melarikannya dengan menertawakan diri sendiri. Ah, betapa konyolnya...! But It works. Tidak semua hal memang bisa dijelaskan dengan sempurna: kenapa atau bagaimana. Kadang tetap saja tinggal seperti itu, apa adanya. Seperti karang dan lokan di laut sana, begitu saja ada, entah untuk apa disana, dan kita bisa menerimanya.
Aku mencurigai pikiranku sendiri. Seperti aku bilang, aku bisa jadi subversif dengan semua pikiranku tentangmu, misalnya dengan melepas semua atribut yang ada padamu, dan merampokmu habis-habisan. Kenapa setiap pikiran tentangmu singgah membenturi jidatku, aku selalu bilang sendiri, ah...semuanya akan baik-baik saja. Dan aku lihat semuanya jadi begitu manis, terlalu mengesankan untuk begitu saja dilewatkan. Aku senang bahwa itu karenamu. Tapi tentu aku akan lebih bahagia, kalau itu karena rasa syukur yang tak putus-putusnya pada-Nya, the Ultimate Love. Ini bukan ungkapan formal, karena aku memang lebih suka menyimak isyarat cinta yang dikirimkannya dari setiap bulir gerimis yang memerciki kaca jendela, di sebuah senja yang sederhana. Kalau saja bisa kukirimkan potongan senja seperti itu ke setiap orang yang aku cintai. Kalau saja ada sebuah ruang tanpa batas dimana rindu dan cinta bisa menggema sempurna, barangkali tak akan ada yang begini pahit, atau serasa percuma saja. Meski kita berdua tak ada disana.
Aku tahu ini cuma sepenggal perjalanan panjang yang mesti kita lewati. Setiap orang sedang menuju ke suatu tempat dengan caranya masing-masing. Pada tiap penggalan kita susun jadi bilik di sudut hati tempat kita mengais-ngais hikmah. Tidak ada yang salah dengan semua yang serba sederhana kita pahami, semua yang nampak percuma tapi bermakna. Kadang justru perasaan luar biasa itu, adalah bentuk ketakjuban pada sesuatu diluar kita, something we felt beyond ourself. Orang bijak bilang, butuh lebih banyak ketulusan dan kerendahan hati untuk mengapainya. Jadi? adakah yang lantas luar biasa karenanya?
Bahkan sajak sempurna adalah kesenyapan itu sendiri. Sesuatu yang menyelinap diam-diam, dan kita memahaminya meski tanpa diucapkan. Seperti sebuah eksistensi juga cinta.
Banda Aceh, 2004
Aku harus berhenti sejenak dari perjalanan kali ini, my solitary journey, perjalanan menemukan apa yang berharga dari hidup. Karena tiba-tiba ada yang terasa begitu dekat dan indah, membuncah-buncah di kepala dan dada, dengan kehadiranmu. Sampai batas tertentu aku tetap saja begerak antara superego, ego dan pertanyaan-pertanyaan yang harus aku jawab sendiri tentangmu. Dan sebuah ide yang tidak hanya bermakna tunggal. Tapi itu tidak mungkin lagi. Eksistensiku tidak punya arti apa-apa lagi buatmu, jika aku tetap bertahan seperti yang sering terlalu indah kubayangkan. Selalu saja kemudian aku merasa begitu tolol menafsirkan semuanya. Tidak pernah selesai dengan kalimat-kalimat pendek dengan satu kesimpulan.
Kita tak punya cukup mantera untuk menyihir dunia mimpi yang indah ini terus menerus. Kita bahkan kehabisan kata, lalu sesekali akan terucap bahwa cinta kita mungkin "nonsens", pun rindu yang pahit ini. Dan aku tidak bisa bertahan pada batas mimpi dan kenyataan. Tak ada ruang, untuk menggemakan rindu yang menggigil, memanggilmu untuk datang. Seorang penyair menulis:
....
bukankah matahari telah bersalin dan
melahirkan kenyataan yang agak lain?
dan sebuah jadwal yang lain?
sebuah ranjang & ruang rutin, yang setia,
seperti sebuah gambar keluarga
(dimana kita, berdua, tak pernah ada?)
...
Bukankah kita sering kemudian lantas jadi lebih mudah lupa dan memaafkan? Oh tidak, barangkali kali ini bahkan tidak ada maaf. Tidak untuk sesuatu yang sekonyol yang bisa kubayangkan dari orang yang melihat tentang kita. Di sela-sela kode-kode program yang aku tulis, seringkali gemerlap pikiranmu atau kerling matamu menyelinap, membuatku mesti berhenti sejenak, sekedar menyeka peluh. Betapa susahnya ternyata, melakukan apa yang sering aku tertawakan sendiri, melupakanmu...
Tapi kamu tak perlu kuatir, ada mekanisme tertentu padaku yang diturunkan dari tradisi. Dimana pada tiap jebakan kebuntuan rasa dan nalar, aku melarikannya dengan menertawakan diri sendiri. Ah, betapa konyolnya...! But It works. Tidak semua hal memang bisa dijelaskan dengan sempurna: kenapa atau bagaimana. Kadang tetap saja tinggal seperti itu, apa adanya. Seperti karang dan lokan di laut sana, begitu saja ada, entah untuk apa disana, dan kita bisa menerimanya.
Aku mencurigai pikiranku sendiri. Seperti aku bilang, aku bisa jadi subversif dengan semua pikiranku tentangmu, misalnya dengan melepas semua atribut yang ada padamu, dan merampokmu habis-habisan. Kenapa setiap pikiran tentangmu singgah membenturi jidatku, aku selalu bilang sendiri, ah...semuanya akan baik-baik saja. Dan aku lihat semuanya jadi begitu manis, terlalu mengesankan untuk begitu saja dilewatkan. Aku senang bahwa itu karenamu. Tapi tentu aku akan lebih bahagia, kalau itu karena rasa syukur yang tak putus-putusnya pada-Nya, the Ultimate Love. Ini bukan ungkapan formal, karena aku memang lebih suka menyimak isyarat cinta yang dikirimkannya dari setiap bulir gerimis yang memerciki kaca jendela, di sebuah senja yang sederhana. Kalau saja bisa kukirimkan potongan senja seperti itu ke setiap orang yang aku cintai. Kalau saja ada sebuah ruang tanpa batas dimana rindu dan cinta bisa menggema sempurna, barangkali tak akan ada yang begini pahit, atau serasa percuma saja. Meski kita berdua tak ada disana.
Aku tahu ini cuma sepenggal perjalanan panjang yang mesti kita lewati. Setiap orang sedang menuju ke suatu tempat dengan caranya masing-masing. Pada tiap penggalan kita susun jadi bilik di sudut hati tempat kita mengais-ngais hikmah. Tidak ada yang salah dengan semua yang serba sederhana kita pahami, semua yang nampak percuma tapi bermakna. Kadang justru perasaan luar biasa itu, adalah bentuk ketakjuban pada sesuatu diluar kita, something we felt beyond ourself. Orang bijak bilang, butuh lebih banyak ketulusan dan kerendahan hati untuk mengapainya. Jadi? adakah yang lantas luar biasa karenanya?
Bahkan sajak sempurna adalah kesenyapan itu sendiri. Sesuatu yang menyelinap diam-diam, dan kita memahaminya meski tanpa diucapkan. Seperti sebuah eksistensi juga cinta.
Banda Aceh, 2004