Ini adalah catatan dari seorang Kimung sahabat dari Ivan Scumbag (ex-vocalis Burgerkill) untuk mengenang 6 tahun wafat Ivan Scumbag (19 April 1978 – 27 Juli 2006). sahabat saya, vokalis Burgerkill. Kisah ini adalah cuplikan dari buku Myself : Scumbag Beyond Life and Death, fragmen dua hari terakhir hidup Ivan. Sengaja nama rumah sakit dan ruangan di mana ia dirawat sengaja saya hilangkan dalam artikel ini agar pebahasan tidak menjadi bias. Simaklah!
“…Sehari sebelumnya, 26 Juli 2006
Pukul setengah satu dini hari. Sakit di kepala Ivan semakin menghebat dan sepertinya sudah tak tertanggungkan lagi. Tubunya yang ringkih sudah tidak kuat lagi menahan derita begitu hebat di kepalanya. Syaraf-syarafnya sama sekali sudah lelah. Ivan kejang-kejang. Kejang-kejang yang paling parah selama Ivan sakit. Ini membuat Mery yang malam itu menjaganya menjadi panik. Ia mencoba menghubungi Jimbo tapi selalu tidak nyambung. Mery juga menghubungi Andris, mengiriminya pesan pendek mengenai kondisi Ivan tersebut. Tak lama kemudian, Jimbo menelpon, mencari tahu kondisi Ivan. Mery memintanya segera datang ke Antapani karena kondisi Ivan yang memprihatinkan. Jimbo berangkat saat itu juga dari Rancaekek menuju Antapani.
Ivan sudah tidak bisa apa-apa. Mery mencoba membuatnya duduk agar Ivan dapat menghirup udara segar. Namun, untuk duduk pun ia sudah tidak kuat, padahal sepertinya Ivan saat itu sudah tidak kuat menahan buang air kecil. Akhirnya, untuk ke dua kalinya Mery mencoba mengangkat, mendudukkan Ivan. Namun Mery semakin panik melihat kejang-kejang Ivan jadi semakin parah. Ia kejang hebat. Lehernya sangat tegang dan tertarik ke belakang kepalanya. Kaki dan tangannya juga sangat kejang. Tangannya malah terkepal sangat erat. Sementara itu, matanya nyalang terbuka, melotot menatap kosong ke arah sana. Matanya begitu gelap dan pekat. Tiba-tiba tubuh Ivan dipangkuan Mery jadi semakin memberat. Sepertinya, tubuhnya pun mulai mengejang saat itu. Akhirnya, Mery kembali membaringkan Ivan.
Untunglah Jimbo segera datang bersama Dody sepupunya. Sementara itu, orang-orang di rumah Mery juga semua bangun dari tidurnya mendengar kegaduhan-kegaduhan di kamar Mery. Melihat kondisi Ivan yang sangat memprihatinkan, mereka semua siap siaga. Semuanya memegang tangan, kaki dan tubuh Ivan, membantunya mengendurkan otot-ototnya yang semakin kejang. Saat itu, sepertinya ia sudah tidak kuat menahan air seninya. Tubuhnya semakin mengejang, melenting ke belakang. Tiba-tiba Ivan buang air kecil. Air seni membasahi celananya seketika itu juga.
Saat itu semua sepakat, kondisi Ivan sangat kritis dan ia harus segera dibawa ke rumah sakit. Rencananya Ivan akan dibawa ke sebuah rumah sakit di Bandung. Setelah Ivan dijaga agar tetap nyaman, semuanya segera sibuk dengan telepon genggam masing-masing. Mery bahkan sempat ke luar rumah untuk mencari taksi, atau angkot yang bisa dicarter, atau kendaraan apapun yang bisa mengantar Ivan sesegera mungkin. Wida, adik Mery juga terlihat sibuk menghubungi kawan-kawannya, meminta tolong meminjam kendaraan. Sementara itu, Jimbo mengganti celana Ivan dan menyiapkannya untuk dibawa ke rumah sakit. Jimbo juga menghubungi keluarganya, salah satu paman Ivan untuk meminjam kendaraan. Sayangnya, sang paman tidak bisa membantu. Namun, ia segera datang karena rumahnya lumayan dekat dengan rumah Mery. Untunglah, tak lama kemudian datanglah kendaraan. Sebuah pick-up. Namun, dalam kondisi gawat darurat, mobil itu adalah mobil terbaik di dunia. Yang berbaik hati meminjamkan kendaraannya, bahkan mengantar Ivan ke rumah sakit malam itu adalah Dadan, kawan Arie. Jimbo, Dody, dan Paman Ivan ikut serta. Dengan suka rela Paman Ivan duduk di bagian belakang bak terbuka pick-up malam itu. Mery, Ary, dan Lucky, kakak Mery, serta salah satu kawannya menyusul memakai motor.
Sampai Unit Gawat Darurat Ivan segera ditangani. Ia sempat menolak ketika akan dipasangi infus. Jarum yang sudah menancap di aliran darahnya seketika itu juga direnggut Ivan, hingga darah dari nadinya tumpah ruah menodai ranjang tempat ia dibaringkan. Sebelumnya, sempat ada salah paham antara dokter jaga malam dengan Jimbo serta keluarga Ivan yang ikut mengantar.
Dengan lagak ‘tuan tahu segala hal’, sang dokter jaga petantang-petenteng di depan Ivan. Ia menampar-nampar wajah Ivan sambil berteriak,
“Bangun, bangun!”
Melihat Ivan tak juga bangun, sang dokter jaga mulai bertanya macam-macam. Pertanyaan paling parah adalah, “makan obat apa sebelumnya?” Singkatnya, sang dokter jaga menyangka Ivan sebagai korban overdosis narkoba. Serentak, semua yang ada di sana menyangkal pernyataan sembrono sang dokter jaga tersebut. Mereka menegaskan jika Ivan benar-benar sakit dan bukan korban overdosis narkoba.
Setelah manggut-manggut, sang dokter jaga kemudian bertanya ke Mery mengenai riwayat kesehatan Ivan sebelum kejang-kejang.
“Dok, emang dulu Ivan itu user dan bahkan bukan sekedar user. Ia adalah scumbag, tempat sampah di mana semua jenis drugs sudah pernah dia coba. Tapi itu dulu banget, Dok. Lima tahun terakhir hidupnya sudah bisa saya bilang jika ia sudah berubah. Sekarang, dia sudah bisa dibilang sangat, sangat membaik. Menurut dokter yang menanganinya selama ini, Ivan itu sakit tuberkolusis atau bronchitis dan selama dua tahun terakhir ini dia minum obat paru. Namun lantaran tidak ada biaya, terapi jalan tersebut tidak pernah tuntas.”
Sang Dokter jaga manggut-manggut lagi setelah mendengar cerita Mery. Akhirnya, ia memutuskan agar Ivan dirawat inap sebelum diperiksa oleh dokter ahli yang akan menanganinya nanti. Awalnya, Ivan akan dirawat di ruang isolasi. Tapi karena penuh, maka Ivan kemudian dirujuk ke sebuah rumah sakit besar di Kota Bandung. Namun, untunglah, tiba-tiba ada tempat kosong di salah satu ruang di rumah sakit tersebut. Di ruang ini, satu kamar dapat diisi oleh enam pasien dengan penyakit yang berbeda-beda. Namun, sekali lagi kamar ini menjadi sangat lumayan ketimbang harus memindah-mindah lagi Ivan ke rumah sakit-rumah sakit lain yang juga belum jelas tersedia kamar atau tidak. Sambil mengurusi registrasi dan administrasi, pandangan Mery tak pernah sekali pun lepas dari Ivan. Saat itu, Ivan menggumam-gumam tidak jelas. Tangannya tidak bisa diam mencoba merengut jarum infus yang menancap di syaraf-syaraf tangannya. Sepertinya, Ivan sangat kesakitan dengan jarum infus itu. Darah tetap menyembur dari nadinya. Meninggalkan noda-noda darah di ranjangnya. Karena tangan Ivan tidak bisa diam, selalu mencoba untuk merenggut jarum infus, para perawat mengambil inisiatif untuk mengikat kedua tangan Ivan di besi-besi ranjang rumah sakit di mana Ivan berbaring. Semua yang hadir menemani Ivan saat itu membimbing Ivan untuk mengucapkan Istighfar.
“Van Istigfar, Van…”
“Van astaghfirullah, Van…”
Sampai saat itu Ivan masih bisa menggumamkan kalimatullah astaghfirullahhaladzin beberapa kali walau terbata-bata.
Di sela-sela proses perawatannya Ivan terlihat sangat resah. Tubuhnya bergerak-gerak terus mencari kenyamanan yang tak kunjung ia dapatkan. Sementara itu, Ivan juga tak bisa berbuat banyak mengingat posisi kedua tangannya yang masih terikat di besi-besi di pinggir ranjang. Beberapa suster datang tak lama kemudian mengecek kondisi Ivan. Mereka mengukur tekanan darah dan juga mengambil contoh darah untuk diperiksa di laboratorium. Mereka lalu meminta izin kepada Mery untuk memasangkan baju pasien dan kateter di Ivan. Kateter adalah semacam selang yang dimasukan ke lubang penis dan bermuara di sebuah kantong yang mirip labu infus. Fungsinya untuk menampung air seni Ivan, agar jika kebelet, ia tidak usah bergerak dari ranjangnya.
Setelah para suster beres dengan pemeriksaan dan pemasangan kateter, Ivan terlihat sedikit nyaman walau gelisah sepertinya masih betah menggelayutinya. Mery dan Jimbo dengan telaten menemani Ivan saat itu. Ivan masih sangat yang gelisah. Ia berbaring resah, tak bisa diam. Beberapa kali baju pasien yang dikenakannya tanpa daleman itu tersingkap memamerkan bokong dan penisnya. Mery yang siap siaga, beberapa kali menyelimutinya dan menutup gorden ruang tempat Ivan dibaringkan. Sepanjang sisa malam itu dilewati Ivan dengan perasaan tak menentu. Tidurnya sangat gelisah dan berkali-kali tubuhnya kejang-kejang. Ivan berbaring dengan sangat tidak nyaman.
Akhirnya, pagi tiba. Para perawat datang membersihkan tubuh Ivan dengan wash-lap sambil beberapa kali menghibur Ivan. Setelah bersih-bersih badan, Ivan sarapan. Ivan makan dengan lahap pagi itu. Sepertinya, ia sangatlah lapar. Mery menyuapinya. Sayang, nafsu makannya tidak ditunjang oleh kondisi tubuhya. Mulutnya saat itu sudah kaku, tidak bisa dibuka dengan lebar hingga menyusahkan suapan-suapan makanannya. Minum pun, akhirnya Ivan harus mempergunakan sedotan. Beberapa kali, karena terlalu bernafsu, Ivan tersedak.
Saat itu, Ibu serta keluarga-keluarga lainnya sudah datang berkumpul di rumah sakit. Ibu Hera sempat menggantikan Mery menyuapi Ivan. Namun, tak lama Mery kembali meneruskan menyuapi Ivan dengan semangat. Saking semangatnya, Ibu Hera sempat memperingati Mery, “Neng Mery jangan banyak-banyak, pelan-pelan nyuapinnya!”. Tapi saat itu yang ada dalam benaknya adalah bahwa Ivan harus sebanyak mungkin diberi banyak asupan minuman dan makanan biar nutrisi dalam tubuhnya terpenuhi, cairan membantu metabolismenya, dan staminanya akan semakin baik. Namun, kondisi Ivan ternyata tidak bertambah baik sepanjang hari itu. Kejang-kejangnya tambah sering. Sepertinya, Ivan tidak kuat menahan sakit yang mendera syaraf-syaraf kepalanya sehingga tubuhnya mengejang menahannya. Tubuhnya kering kerontang saja karena berhari-hari tak ada makanan sama sekali yang masuk menyuplai nutrisi tubuhnya.
Saat itulah, Andris datang. Ia sangat terkejut melihat kondisi Ivan. Segera saja, Andris mengabari kondisi Ivan yang terakhir kepada seluruh personil Burgerkill dan kawan-kawan. Andris tak lama. Ia segera berangkat untuk mengurusi perawatan Ivan dengan janji siangnya ia akan segera kembali. Siang harinya, Kimung, datang. Ia sama sekali tidak menyangka jika kondisi Ivan sangat kritis. Tak seorang pun memberitahu Kimung mengenai sakit Ivan yang parah. Memang sebelumnya, Jimbo pernah menelepon memberitahu jika Ivan sedang sakit dan ingin ketemu dengan Kimung. Namun, dalam pemberitahuan itu Jimbo sama sekali tidak mengisyaratkan jika Ivan sudah sakit sangat parah, hingga Kimung menyangka sakit Ivan sakit biasa-biasa saja. Ia benar-benar terhenyak ketika melihat kondisi Ivan.
Di ruang di mana Ivan dirawat Kimung disambut dengan mata berkaca-kaca Jimbo dan Mery. Mereka bersalaman tanpa banyak berkata-kata. Dan di sanalah Ivan berbaring.
Tubuhnya begitu kurus dan ringkih. Hanya dibungkus kain rumah sakit, sebuah terusan berwarna putih-putih. Rambutnya panjang tergelung di belakang kepala. Wajahnya tanpa ekspresi. Begitu pucat di antara keringat-keringat dingin yang sedikit-sedikit keluar dari pori-porinya. Matanya cekung, sedikit terbuka. Korneanya berada di langit-langit mata. Sedikit erangan-erangan terdengar dari mulutnya yang juga pucat dan sedikit terbuka. Jimbo dan Mery yang setia menungguinya sebentar-sebentar mengipasi Ivan yang tampak kepanansan. Ada juga Neng, sepupu Ivan, dan suaminya ikut menunggui.
“Van…”, sapa Kimung setengah berbisik.
Tak ada jawaban.
“Van, ieu urang, Kimung…”[1]
Tetap tak ada jawaban.
Kimung mengalihkan pandangan bergantian ke Jimbo dan Mery. Memohon penjelasan dari siapa pun mengenai kondisi Ivan terkini.
“Si Ivan kejang-kejang, ti tadi peuting. Jam dua peuting di bawa ka dieu…”[2] Jimbo menjelaskan, mahfum dengan ekspresi wajah Kimung.
Kimung kembali mengalihkan pandangan, menatap Ivan, lalu menggenggam tangannya. Agak kesulitan ia mencari tangan Ivan. Ternyata kedua pergelangan tangan Ivan terikat ke rangka bangsal yang ia tiduri.
Sementara itu Mery mengipasi Ivan, membelai-belai kening dan rambutnya, menyeka keringat yang mengucur sedikit-sedikit, sambil tak henti-hentinya mengajak Ivan bicara. Menyemangatinya agar sabar dan tabah. Sesekali ia menengadah mengalihkan pandangan pada Kimung dan tersenyum.
“Kunaon ditalian leungeunna?”[3] tanya Kimung pada Jimbo.
“Kamari si Ivan ngamuk. Embungeun di infus, pas infusan geus dipasang, langsung dicabut deui nepi ka leungeunna garetihan.”[4] sahut Jimbo lirih. Matanya menunjuk ke bercak-bercak darah yang ada di sekitar ranjang yang Ivan tiduri.
Kimung lalu menggenggam tangan kurus itu. Tangan yang sejak dulu ia kenal betul bentuknya, tato-tato yang ada di atasnya. Tangan itu begitu kejang. Kimung menggenngamnya erat.
“Van, ku naon manéh? Sing sabarnya, Van…”[5]
Lalu Kimung terdiam tak tahu apa lagi yang harus dikatakan. Ia tertunduk. Seketika Kimung rasakan jutaan gelombang menghantam dadanya. Menggulung-gulung bergemuruh riuh dalam dirinya. Menghajar-hajar mencoba menjebolkan dinding pertahanan dirinya. Seketika itu juga ia lemas. Namun, ia bertahan. Genggaman tangan itu semakin Kimung eratkan.
“Van…”
Kembali Kimung menyebut nama Ivan.
Saat itu, kawan-kawan Ivan dari ranah musik bawahtanah Ujungberung Rebels datang menjenguk. Mereka adalah Amenk, Man, dan beberapa kawan lainnya. Bergantian mereka berdoa dan membesarkan hati Ivan agar tetap tabah dan semagat menjalani cobaan ini.
***
Kebisuan itu agak mereda ketika dokter yang menangani Ivan tiba dan langsung masuk ruangan di mana Ivan dirawat. Dokter itu masih muda dan matanya memancarkan tingkat optimisme yang tinggi. Sorot mata penuh kehidupan yang dapat menularkan harapan akan hidup kepada siapa pun yang menatapnya. Begitu pula kepada semua yang hadir di sana saat itu, Mery, Jimbo, dan Kimung. Sang dokter memeriksa Ivan dengan seksama. Ia melihat catatan kesehatan Ivan, kemudian memeriksa tubuh Ivan. Detak jantungnya, nadi, hingga memeriksa mata dan mulutnya. Sambil memeriksa sang dokter mengajak berbincang-bincang Mery, Jimbo, dan Kimung yang ada di sekeliling Ivan menunggui pemeriksaan itu.
“Kenapa katanya Ivan ini?” Tanya sang dokter ramah.
“Euu kejang-kejang dokter… “ Jimbo lalu sedikit menceritakan riwayat kesehatan Ivan sejak ia salah didiagnosis paru-paru sampai kejang-kejang parah dan dibawa ke rumah sakit tersebut.
Sang dokter mengangguk-anggukan kepalanya mengikuti keterangan Jimbo sambil tetap konsentrasi memeriksa kondisi Ivan. Tiba-tiba dokter menghentikan pemeriksaannya dan berkata,
“Sepertinya penyakit Ivan ada di dalam kepala. Ini terlihat dari kejang-kejang yang dialamainya. Coba ya kita tes…” sahut sang dokter. Ia lalu memegang kepala Ivan dan membalikkannya ke sebelah kiri. Ternyata, kepala Ivan sama sekali tidak bisa menoleh ke arah kiri. Ketika kepala itu dibalikkan ke kiri seluruh tubuh Ivan ikut membalik ke arah kiri. Ketika kepala Ivan dibalikkan ke kanan, seluruh tubuhnya ikut membalik ke arah kanan. Dari fenomena ini saja, dokter menyimpulkan jika Ivan terkena radang yang sangat parah di dalam otaknya. Hanya saja dokter tidak berani menyebutkan penyakit apa yang diderita Ivan.
“Perlu pemeriksaan lebih dalam dan CT Scan untuk menentukan dengan pasti penyakit yang diderita sudara Ivan…” katanya lirih.
“Terus bagaimana caranya CT Scan itu Dok?” tanya Jimbo.
“CT Scan itu scanning organ dalam kepala Ivan, dalam hal ini otaknya. Sepertinya di dalam syaraf otak Ivan ada sebuah benjolan yang mengganggu kinerja otak. Bila benar apa yang saya perkirakan, maka saudara Ivan harus segera dioperasi. Operasinya pun bukan sebuah operasi yang mudah. Kita harus mempertahankan posisi benjolan itu jangan sampai pecah atau berpindah tempat. Jika benjolan itu sampai pecah atau berpindah tempat, maka ini akan menghambat jalan napas saudara Ivan, yang artinya ia akan meninggal…” jawab dokter panjang lebar.
“Terus apakah ada harapan Ivan untuk pulih seperti sedia kala?”
“Harapan tentu saja selalu ada…” dokter menjawab seraya tersenyum. “Namun, dalam kasus saudara Ivan, saya yakin ini akan sangat berat. Sekarang ini, kinerja otaknya sudah sangat minimal. Saudara Ivan sudah tidak bisa lagi memungsikan otaknya untuk mengontrol tubuhnya. Jika pun saudara Ivan sembuh, kinerja syaraf otaknya tidak akan kembali seperti sedia kala. Akan ada skala penurunan kinerja otak dan bahkan mungkin cacat otak. Namun, semuanya tetap akan kembali kepada saudara Ivan sendiri, apakah niat untuk pulihnya besar atau tidak. Ada terapi khusus yang bisa mengembalikan fungsi otak dan syaraf…”
Jimbo, Mery, dan Kimung manggut-manggut mendengar penuturan sang dokter. Dokter kemudian menegaskan CT Scan dapat dilakukan jika ada persetujuan dari pihak keluaga. Untuk informasi lebih jauh mengenai CT Scan terutama dalam hal administrasi, dokter mempersilahkan Jimbo untuk bertanya ke bagian pelayanan. Dokter sendiri saat itu sudah selesai memeriksa Ivan. Ia lalu memberikan resep yang harus dikonsumsi Ivan, sebelum tindak lebih lanjut diputuskan oleh pihak keluarga. Setelah pamit kepada semua yang ada, sang dokter kemudian meninggalkan ruangan Ivan dan meneruskan memeriksa pasien-pasiennya yang lain. Jimbo mengikutinya dari belakang menuju pelayanan untuk meminta segala informasi mengenai CT Scan.
Ternyata biaya CT Scan tidaklan murah. Sembilan ratus ribu untuk sekali CT Scan dan itu belum termasuk obat-obatan dan biaya perawatan, apalagi operasi. Semua sempat termangu-mangu bingung mencari biaya untuk itu semua. Namun, semua berpikir jelas. Ivan harus segera ditangani. Biaya bisa dicari belakangan. Maka Jimbo dan Mery memutuskan untuk menyetujui CT Scan sambil mereka tetap mencari biaya untuk itu. Kimung sempat menelpon Dhoni, kawan Ivan untuk mengabarkan kondisi Ivan yang sekarang sedang dirawat di rumah sakit sambil bertanya apakah Dhoni bisa membantu biaya perawatan Ivan. Di seberang sana, Dhoni mengatakan ia segera datang ke sana.
Sementara itu, resep yang diberikan dokter telah ditebus dan Ivan segera diberikan pengobatan. Waktu menunjukkan pukul satu ketika seorang suster datang untuk membersihkan Ivan, memberinya makan, dan obat-obatan. Ia permisi dulu kepada semua yang hadir untuk memeriksa Ivan. Sehabis pemeriksaan, suster mengganti infus di tangan Ivan. Ketika semua sudah beres, suster lalu mengeluarkan segelas cairan nutrisi mirip susu yahg ternyata adalah makanan Ivan. Ia mulai mengucurkan sedikit demi sedikit cairan putih itu ke dalam selang infus Ivan yang menuju mulut. Ivan sempat tersedak sebentar ketika cairan putih itu masuk ke dalam kerongkonganya. Cepat-cepat sang suster mengambil penyedot dan menyedot cairan yang tak tertelan dari dalam mulut Ivan. Kimung yang penasaran segera mendekati suster,
“Suster boleh saya coba menyuapi kawan saya?”
Suster menatap Kimung, lalu mengangguk sambil tersenyum. Suster mengajari sedikit bagai mana cara memasukkan cairan nutrisi itu melalui infus. Kimung lalu mencobanya. Pelan-pelan cairan nutrisi itu masuk ke dalam kerongkongan Ivan dan terus masuk ke dalam tubuh Ivan. Setiap kucuran selalu Kimung iringi dengan doa semoga dengan makanan itu Ivan segera sembuh. Akhirnya, tak terasa satu gelas cairan nutrisi itu tandas. Hanya sisa sedikit lagi. Suster lalu datang lagi, membersihkan mulut dan wajah Ivan, memeriksa kondisi Ivan sebentar lalu memberikan obat, masih melalui infus yang sama. Setelah itu suster lalu membersihkan lagi wajah Ivan dan setelah semua beres, ia berpamitan untuk memeriksa pasien yang lain.
Setelah makan, Ivan tampak tenang. Namun, beberapa saat kemudian ia menjadi resah. Ia melenguh-lenguh dan kembali kejang-kejang. Kimung, Jimbo, dan Mery yang berada di samping Ivan mencoba menenangkan Ivan. Kimung menggenggam erat tangan Ivan sambil mengusap-usap rambut Ivan. sementara itu Jimbo memijiti kaki Ivan. Mery juga tetap berada di sampng Ivan, menenangkannya agar Ivan tabah dan sabar.
“Van, sabar, Van…”
“Van, istighfar…”
“Van…”
Tak berapa lama, kejang-kejang Ivan mulai mereda. Tangan Ivan yang tadi sangat keras menggenggam tangan Kimung perlahan mengendur. Tubunya berangsur relaks. Tangannya terkulai dan kepalanya terlihat santai, tidak setegang tadi. Dari mulutnya terdengar suara dengkuran. Ivan terlelap. Pelan-pelan Kimung melepaskan genggaman tangan Ivan yang semakin mengedur. Ya, jelas Ivan kini tertidur pulas. Dengkuran terdengar semakin keras ketika tangannya lepas dari genggaman Kimung. Semua yang ada di sana bernafas lega.
Lega melihat Ivan reda dari kejangnya yang begitu menyiksa dan bisa tidur dengan pulas, Kimung yakin Ivan akan segera membaik. Karena itu, ia pamitan kepada Jimbo dan Mery untuk kembali tempat kerjanya dengan janji nanti sore akan kembali menengok Ivan. Setelah berpamitan kepada Jimbo dan Mery, Kimung berpamitan juga kepada Ivan,
“Nyét, hampura urang indit heula nya. Ngké soré rék ka dieu deui. Manéh tong macem-macem. Sing geura cageur. Tong poho ngadu’a terus…”[6] Kimung mengecup kening Ivan sebelum meninggalkan ruangan.
Jimbo mengiringi Kimung turun dari ruangan tempat Ivan dirawat, sekalian pergi ke apotek untuk membayar obat Ivan. Di gerbang rumah sakit, Kimung bertemu dengan Eben, Yayat, Madi, dan Opik yang juga akan menjenguk Ivan. Setelah menyapa dan beberapa saat menceritakan kondisi Ivan yang lumayan tenang dan kini sedang tertidur lelap, Kimung pamitan kepada mereka untuk kembali dulu ke tempat kerjanya dengan janji nanti sore akan kembali menemui Ivan.
Giliran Eben, Yayat, Madi, dan Opik yang mendatangi Ivan di ruangannya. Ketika mereka tiba, Ivan yang tadi tertidur lelap, tiba-tiba bangun dan kondisi lebih kritis lagi. Ia kembali kejang-kejang, bahkan dalam taraf yang semakin parah. Semua yang ada di situ sontak langsung memegangi sekujur tubuh Ivan agar kembali nyaman. Namun, kejang-kejang itu tak juga pergi. Ivan semakin menjadi hingga akhirnya alat deteksi jantung di sebelah rajang Ivan menunjukkan sebuah garis lurus dan satu nada tinggi yang mengkhawatirkan keluar dari mesin itu.
Tiiiiiiiiiiit…
Ivan meninggal!
***
Ivan dinyatakan meninggal, ketika tim dokter dan para perawat sekuat tenaga memberikan dukungan kehidupan ke dalam tubuhnya. Alat pacu jantung, alat-alat kedokteran, para dokter, para suster berseliweran mengguncang-guncang tubuh Ivan, bagaikan memanggil-manggilnya untuk kembali. Mery, Jimbo, Eben, Yayat, dan lain-lain mengawasi dari seberang ruangan dengan tegang. Mereka semua berdoa agar Ivan kembali. Agar Ivan sembuh seperti sedia kala.
Akhirnya, Ivan memang kembali lagi, namun kinerja otak Ivan dinyatakan sudah nol persen. Disfungsi otak itu mempengaruhi seluruh tubuhnya, terutama syaraf, sehingga tidak bekerja dengan baik. Karena itu, tubuh Ivan kejang-kejang terus. Selain itu, disfungsi otak berpengaruh pada kinerja organ lainnya. Hampir semua organ tubuh Ivan saat itu sudah diklaim menurunsampai titik yang paling mengkhawatirkan dan karenanya seluruh daya hidup Ivan harus ditunjang dengan mesin-mesin. Ia juga harus dipindahkan ke Unit gawat darurat (UGD) untuk memudahkan pemeriksaan dan pengawasannya. Ivan dinyatakan koma…”
Orang Miskin Tidak Boleh Sakit, Kebijakan Preventif, dan Upaya Bersama
Begitulah fragmen akhir hidup Ivan, sang rockstar, sosok yang mengangkat musik metal ke tatanan ranah pergaulan musik yang lebih tinggi melalui bandnya Burgerkill. Ivan yang saat itu bisa dikatakan homeless crew sejati, hidup menumpang di rumah Mery sang kekasih, baru saja merilis usaha untuk hidupnya, bisa dikatakan sebagai sosok warga yang belum mampu mencukupi hidupnya. Ketika ia jatuh sakit, ada beban psikologis baik dari diri Ivan mau pun dari lingkungan sekitarnya untuk membawa Ivan ke rumah sakit dan mendapat pelayanan kesehatan. Beban ini bersumber dari faktor biaya yang dikhawatirkan sangat tinggi dan tak mampu dibayar. Dan ketika akhirnya ia dibawa ke rumah sakit, ternyata ia tidak segera mendapatkan pelayanan yang layak.
Dan Ivan bukanlah satu-satunya yang mengalami nasib seperti itu. Media-media begitu sering mengabari kita kasus-kasus yang terkait dengan buruknya pelayanan yang berbau aroma diskriminasi oleh rumah sakit terhadap pasien dengan Asuransi Kesehatan Orang Miskin (Askeskin). LBH menyebutkan sepanjang tahun 2010 ada 413 keluhan yang datang berkaitan dengan pelayanan masalah kesehatan dan ini masih fenomena gunung es karena jumlah itu hanya secuil yang nampak dari ribuan kasus yang terjadi namun tak terkabarkan di Indonesia.
Praktek diskriminasi pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan kelas sosial suatu masyarakat. Determinasi kelas sosial didominasi oleh dua indikator, yaitu pekerjaan dan pendapatan. Seseorang yang menduduki pangkat tinggi dalam suatu pekerjaan secara tidak langsung akan mendapatkan pelayanan nomor satu. Sebaliknya seseorang dengan pekerjaan berpendapatan rendah atau bahkan yang tanpa pekerjaan akan mendapatkan pelayanan yang tidak layak. Hal ini bertentangan dengan prinsip non-diskriminasi yang tercantum dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) pasal 2 ayat 1. Masyarakat miskin atau masyarakat kurang mampu berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 903/Menkes/V/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2011 berhak mendapatkan Jaminan Sosial masyarakat (Jamkesmas) yang merupakan bantuan sosial untuk pelayanan kesehatan bagi fakir miskin dan masyarakat kurang mampu yang iurannya dibayarkan pemerintah. Dengan dilaksanakannya Jamkesmas, diharapkan tingkat kesehatan masyarakat akan meningkat.
Pada pelaksanaannya, sikap petugas pelayanan kesehatan di suatu rumah sakit tidak seperti itu. Perlakuan kasar hingga “korupsi” prosedur pemeriksaan kesehatan sering kali terjadi, terlebih pada proses pemberian obat dan perawatan tingkat lanjut. Pasien kurang mampu yang seharusnya ditangani cepat justru mendapat pelayanan yang lambat atau proses administrasi berbelit-belit. Belum lagi penanganan yang berkesan seadanya, sikap petugas yang tidak mengayomi pasian, pemberian obat generik yang termasuk obat kelas dua dan terbawah bagi pasien-pasien yang seharusnya mendapatkan obat yang sesuai dengan stadium sakit yang diderita. Hal ini jelas berdampak langsung pada kondisi kesehatan pasien di kemudian hari.
Keengganan melayani orang miskin yang sakit dan rentannya dokter salah mendiagnosis penyakit juga kerap mewarnai buruknya pelayanan kesehatan di Indonesia terhadap orang miskin. Yang membuat miris, hal ini terjadi justru ketika pemerintah menganggarkan jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin. Yang lebih miris lagi, ternyata arah pendulum politik ternyata sangat berpengaruh terhadap kebijakan pelayanan kesehatan bagi orang miskin ini. Para politikus cenderung lebih menganggarkan dana besar ke daerah berkantong pemilih besar dari pada ke kawasan yang memang membutuhkannya, sehingga pembangunan infrastruktur kesehatan serta komitmen pelayanan kesahatan bagi masyarakat awam cenderung terbengkalai.
Pemerintah sebenarnya sudah memiliki program Jaminan Kesehatan Masyarakat (kelanjutan dari program Jaring Pengaman Sosial di sektor kesehatan sejak tahun 1998). Namun karena pemerintah ingin mengejar target Millenium Development Goals (MDGs) maka implementasi program ini banyak mengalami masalah. Jaminan Persalinan (Jampersal) misalnya diberikan dengan tidak membedakan antara masyarakat kaya dan miskin sehingga diskriminasi pelayanan kesehatan terhadap orang miskin masih terus terjadi. Kecenderungan sistem pembayaran yang tidak profesional dan akuntabel juga memungkinkan terjadinya mismanajemen dan kebocoran anggaran sehingga banyak dana yang seharusnya dipergunakan rakyat miskin, menjadi menguap. Ini mengakibatkan terjadinya pengetatan sistem pembayaran klaim dan lambannya proses pencairan dana dari pusat ke unit pelayanan sehingga menimbulkan keengganan para pelaku kesehatan di lapangan melayani pasien miskin.
Ini juga diperparah dengan tidak akuratnya pendataan masyarakat yang dianggap berada di garis kemiskinan sehingga program Askeskin menjadi salah sasaran dan tersia-sia. Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah regulasi pemerintah terutama menyangkut Undang-undang Praktek Kedokteran, Undang-undang Keperawatan, distribusi tenaga kesehatan, pendidikan tenaga kesehatan dan sebagainya, apakah sudah benar dan sinergis dengan kebijakan-kebijakan lain di bidang kesehatan atau justru menjadi sumber masalah dalam implementasi kebijakan kesehatan pro orang miskin.
Kompas dalam lamannya merilis beberapa poin penting yang patut diperhatikan dalam pelayanan kesehatan pro miskin, simaklah,
- Jasa medik tidak dipengaruhi oleh kelas pasien, tapi dibayarkan berdasarkan jumlah pasien yang ditangani tanpa memandang apakah pasien kelas VIP maupun biasa sama saja.
- Tidak ada obat yang tidak tersedia di RSU, termasuk obat-obat yang direkomendasikan oleh dokter-dokter spesialis. Ini alasan dokter sering memberikan resep luar, artinya pasien dibebani dengan pembelian obat yang tidak tersedia atau kehabisan stok obat di apotek RSU.
- Resep tidak diberikan kepada keluarga pasien untuk menebusnya atau mengambilnya, akan tetapi rumah sakit telah memiliki unit tersendiri yang menangani masalah resep dan apabila terjadi ketiadaan obat di apotek rumah sakit maka tanggungan dari manajemen rumah sakit untuk menggantikannya dengan jalan apapun misalkan saja pihak manajemen mengusahakan untuk mendapatkan obat tersebut di apotek luar rumah sakit. Hal ini juga untuk mengantisipasi adanya kemungkinan resep aneh diberikan pada pasien miskin karena ketika visite dokter biasanya tidak sampai detail mengetahui apakah ini pasien miskin atau pasien mampu.
- Remunerasi bagi tenaga kesehatan agar para pelaku kesehatan tidak berorientasi menambah penghasilan diluar dari apa yang sudah mereka dapatkan. Hal ini sepertinya tidak pernah di perhatikan oleh pemerintah pusat sejak reformasi, sementara di dunia pendidikan, di lembaga keuangan, lembaga penegak hukum sudah dilaksanakan sejak lama. Jadi janganlah heran apabila pelaku kesehatan kebanyakan hidup di dua alam yaitu PNS sebagai alam yang menjamin hari tua dengan pensiunnya, dan alam swasta yang menjanjikan penghasilan lebih untuk menunjang kemapanan dan hedonisme pada usia muda produktif.
Amanat dalam Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 juga nampaknya belum bisa melindungi rakyat dalam pelayanan kesehatan khususnya bagi warga miskin. Urban Poor Consortium (UPW) Indonesia menilai hal ini terjadi karena dua faktor. Yang pertama, pivatisasi pelayanan kesehatan yang menghapus atau mengurangi subsidi kepada rumah sakit pemerintah sehingga rumah sakit ini cenderung mengutamakan pasien yang memiliki uang. Faktor yang ke dua adalah kebijakan pelayanan kesehatan untuk rakyat miskin pada dasarnya tidak memenuhi keharusan sebagaimana digariskan dalam konstitusi. Alokasi dana dari anggaran belanja negara untuk pelayanan kesehatan juga harus menjadi skala prioritas dengan jumlah yang cukup untuk memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas.
Di tengah sengkarut masalah, sistem, teknis dan administrasi kesehatan di Indonesia, pemerintah seharusnya mengarahkan kebijakan preventif bagi pembangunan kesehatan rakyatnya. Ini berkaitan erat dengan kemudahan mendapatkan akses informasi mengenai kesehatan sosial masyarakat serta pendidikan kesehatan dari usia dini. Ini juga termasuk keamanan pangan untuk rakyat, di mana rakyat terjamin pangannya dari bebas dari zat-zat kimia yang berbahaya bagi kesehatan. Di titik ini hukum mencakup ranah pergulatan lain dalam penjaminan kesehatan masyarakat seperti kebijakan perdagangan, industri, dan pendidikan.
Selanjutnya, masyarakat juga harus terus proaktif dalam pemerataan pelayanan kesehatan ini. Menggantungkan segala hal kepada pemerintah bukanlah suatu sikap yang baik karena kesehatan masyarakat adalah masalah bersama yang harus ditangani bersama pula. Pengembangan sistem pengobatan tradisional murah berbasis kearifan tradisional, menyediakan sarana dan program-program olah raga untuk sesama warga, penyediaan fasilitas publik yang gratis dan terbuka untuk berolahraga, berkomunikasi, dan bersosialisasi antar mereka yang pada gilirannya akan menyumbangkan hal yang besar untuk peningkatan kualitas kesehatan fisik, psikologis, dan sosial warga. Ini bisa dilakukan jika pemerintah masih juga gagal menyediakan fasilitas publik yang memadai dan bisa diakses gratis oleh warga masyarakat. Menyediakan halaman kita yang luas untuk dipergunakan sebagai tempat beraktivitas seperti di pedesaan-pedesaan adalah hal kecil yang bisa dilakukan.
Menjaga lingkungan yang bersih serta mendidik anak-anak serta adik-adik mengenai masalah kesehatan sejak dini juga menjadi tugas seluruh warga negara. Pendidikan mengenai lingkungan hidup, kesehatan, dan pentingnya menjaga alam dan keselarasannya dengan manusia patut diberi perhatian lebih karena dari sinilah semua manusia berasal. Betapa bagus jika pendidikan yang dilakukan bersama-sama ini bersifat inklusif dan integrative. Inklusif dalam arti tidak dilakukan secara eksklusif hanya di tatanan sosial masyarakat tertentu tapi mencakup seluruh tatanan masyarakat. Sedangkan integratif bisa berarti dilakukan bersama-sama oleh seluruh elemen masyarakat dalam program yang mandiri dan murni tanpa kecenderungan kepentingan apa pun kecuali penyehatan generasi. Pendidikan berwawasan alam dan lingkungan hidup yang sehat juga akan menunjang program-program pembangunan berkelanjutan dan membina generasi muda untuk berpikir cerdas dan panjang dalam melakuakan berbagai hal.
Memberikan pekerjaan dan pendapatan, membukakan kesempatan kerja dan beraktualisasi di ranah ekonomi dan sosial kepada orang tak mampu, sekecil apa pun itu, merupakan upaya yang bisa dilakukan bersama-sama. Tak hanya mendapatkan profit ekonomi, dengan bekerja ada pelepasan beban psikologis yang pada gilirannya akan menunjang kesehatan jiwa. Dengan bekerja, orang juga terlatih untuk terus berpikir mengembangkan dirinya dan ini menunjang serta member motivasi seseorang untuk senantiasa sehat walafiat.
Hal lainnya adalah secara aktif berpartisipasi dalam proses politik dalam kehidupan sosial. Warga harus yakin bahwa warga akan memilih sosok-sosok pemimpin yang mampu memperbaiki kondisi diskriminasi dan buruknya pelayanan kesehatan warga. Ini mungkin sangat utopia mengingat untuk memilih poitisi yang baik dan benar-benar memperhatikan hak warga adalah bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Namun yang paling penting dari sini adalah satu pelajaran bahwa warga juga patut, berhak, dan wajib aktif ikut serta dalam menentukan kebijakan publik.
Akhirnya, jika kita berbicara mengenai hak warga, maka berujung juga ke hati nurani. Dengan iklim sosial dan pola komunikasi yang intens di antara warga diharapkan terjalin kedekatan individu dengan lingkungan sosialnya. Ini akan membangun jiwa yang bersih dan sehat sehingga akan berpengaruh secara fisik kepada individu-individu yang menjalaninya.
Dan kesehatan yang paling utama, memang terbagun dari perasaan peduli terhadap sesama.
Wallohualam…
I miss you brother Ivan Scumbag…
Penulis adalah guru dan musisi