|

Kurt Cobain dan Balotelli : Manifesto Anti-Sosial Seorang Pesohor


Ada sebuah pepatah Yahudi yang mahsyur: “Manusia berpikir, Tuhan tertawa”. Saya mempercayai pepatah itu dalam waktu yang cukup lama, hingga kemudian saya melihat Mario Balotelli. Kala momen itu datang, saya langsung tahu bahwa pepatah tadi telah berubah bunyi: “Manusia menebak, Balotelli tertawa”.

Balotelli adalah enigma tersendiri. Tiga ayun langkah kakinya ketika menendang penalti sama mengherankannya dengan sikapnya yang selalu mematung ketika mencetak gol. Beberapa dari kita barangkali akan menilainya kelewat jemawa atau over percaya diri. Tapi saya percaya, melakoni peran tersebut selama 21 hidup adalah pekerjaan berat.

Setiap dari kita tentu memiliki selera tersendiri dalam memilih pesepakbola idola. Saya pribadi menyukai perangai nihilis Antonio Cassano atau sikap flamboyan Fernando Redondo, dan merasa aneh ketika ada pesepakbola yang terlalu patuh pada majikan layaknya Gary Neville. Tapi Balotelli membuka cakrawala saya terhadap pesepakbola. Sisi paradoks Balotelli mengingatkan saya kepada Kurt Cobain.

Cobain barangkali adalah satu-satunya pesohor kelas atas bentukan Amerika yang betul-betul tak peduli dengan perhatian publik secara sadar. Ia bisa dengan cuek hadir ke acara MTV tanpa belum mandi dua hari sambil memakai sepasang Converse butut dan kaos kaki yang hanya sehelai, serta mengenakan sweater robek yang usangnya sama dengan jeans belel warna biru muda kesukaannya.

Dalam beberapa wawancara, Cobain pun sering menjawab pertanyaan dengan sikap psikedelik yang penuh lantaran hidungnya masih berlumuran kokain.Tak jarang pula ia mengucapkan makian lantaran eksploitasi media terhadap dirinya yang kelewat berlebih dan bersumpah untuk menjauhi popularitas. Padahal, dalam beberapa nukilan tentang dirinya, tak sekali dua Cobain menelpon langsung produser-produser MTV untuk menumpahkan kekecewaan karena tak menayangkan video klip Nirvana.

Dalam sisi musikalitas, Cobain pun menolak jika Nirvana dianggap sebagai band Grunge. Ia tak bersepakat jika Nirvana lahir setelah Cobain menonton rekaman video Neil Young di Woodstock 69'. Cobain berkali-kali mengutarakan bahwa dirinya lebih bangga jika Nirvana dikenal sebagai band Punk, syukur-syukur jika ada yang menganggap mereka sebagai anak kandung Sex Pistols. Tapi, di lain sisi, Cobain pula yang kerap menegur Dave Grohl lantaran temponya dalam bermain drum terlalu cepat dan melulu memainkan teknik Heel Up yang notabene teknik alami musik Punk.

Begitu banyak sisi paradoks Cobain membuat kehidupannya yang sudah kacau kian bertambah rusak. Percintaannya dengan Courtney Love yang sering disebut-sebut mirip dengan romansa Sid Vicious dan Nancy Spungen itu tak membantunya. Bahkan beberapa penggila teori konspirasi menyebut bahwa kematian Cobain sejatinya bukan lantaran bunuh diri, melainkan skenario busuk Love untuk menguasai seluruh royalti sang kekasih.

Oh my... Semoga Raam Punjaabi tak pernah tahu cerita ini. Amin.

Cobain di satu sisi, Balotelli di sisi lain. Bakatnya sebagai striker spesial sudah tercium ketika ia mencetak dwigol dalam laga persahabatan Inter Milan melawan Sheffield United dalam rangka memperingati ulang tahun ke-150 Sheffield. Dan ketika usianya baru menginjak 17 tahun, Roberto Mancini kemudian kepincut untuk memainkannya di level senior. Hari itu, 16 Desember 2007, dalam laga Inter kontra Cagliari di Serie A, Balotelli masuk menggantikan David Suazo. Gong penanda hidup barunya lantas berbunyi kencang.

Tuhan memang memberikan Balotelli bakat untuk menarik perhatian. Cukup tiga hari dari debutnya, Balotelli langsung mencetak dua gol melawan Reggina di Coppa Italia. Dan namanya kian tersehor tatkala ia kembali mencetak dua gol, namun kali ini di gawang lawan yang lebih horor: Juventus. Masih di ajang yang sama, kedua gol Balotelli sama-sama memperlihatkan sisi dingin dan artistiknya sebagai striker.

Gol pertama bermula ketika ia mendapat umpan panjang dari Maniche. Setelah menang beradu badan dengan Allesandro Birindelli, Balo dengan tenang menceploskan bola dengan tendangan setengah voli. Gol keduanya lebih menawan: diawali dari umpan datar diagonal Dejan Stankovic, Balo kemudian menahannya dengan dua kali sentuhan, dan sambil membelakangi lawan dan gawang, ia lalu menyepak bola keras-keras dengan teknik serupa di gol pertama. Dingin, tajam.

Balotelli terlahir dengan nama Mario Barwuah. Tak ada darah Italia ditubuhnya. Orangtuanya, Thomas dan Rose Barwuah, adalah imigran dari Ghana. Balo lahir di Palermo, 12 Agustus 1990. Nama Baloteli ia dapatkan ketika mendapat orangtua asuh bernama Fransesco dan Silvia Balotelli. Cerita pertemuan Balotelli dengan kedua orang tua asuhnya bermula ketika ia sakit.

Syahdan, orang tua kandungn Balotelli saat itu tak punya cukup uang untuk berobat di rumah sakit. Setelah mencari donatur kesana-kemari yang bermurah hati, akhirnya mereka bertemu dengan Fransesco dan Silvia. Tak banyak cakap, Silvia langsung menyanggupi untuk mengobati Balotelli, bahkan ia juga berterus terang ingin mengangkatnya sebagai anak.

Kendati terkejut dengan permintaan itu, kedua orang tua Balotelli tak punya pilihan lain, selain bermasalah dengan paspor, mereka juga tak memiliki pekerjaan apa pun di negeri orang. Akhirnya, Balo pun resmi diangkat sebagai anak oleh Fransesco dan Silvia dan kedua orang tua Balotelli pun pulang ke Ghana. Sebuah kisah picisan yang barangkali sering kita saksikan di acara-seminar motivator.

Hari pun berjalan. Menjadi anak dalam keluarga yang berkecukupan tak lantas membuat hidup Balotelli bahagia. Benar bahwa Fransesco dan Silvia-lah yang menyarankan Balotelli agar masuk sekolah sepakbola, berikut dengan dukungan yang tak pernah putus. Tetapi hidup di negeri yang menyejarah dengan sikap rasisme yang kental tentu tak mudah bagi pemuda yang masih berusia belasan berkulit hitam. Satu hal lain: Fransesco dan Silvia adalah Yahudi. Tak ada yang lebih buruk dari nasib seorang kulit hitam berkeluarga Yahudi di Italia.

Tak terhitung berapa banyak penghinaan yang telah diterima Balotelli sepanjang hidupnya. Saya tak tahu apakah ia pernah menangis atau menyerah menghadapi semuanya. Yang saya tahu, di usianya yang baru 23 tahun, Balotelli sudah mengoleksi semua gelar bergengsi di tingkat klub dan menjadi  pemain berkulit hitam pertama—dan barangkali satu-satunya—yang berhasil mencatatkan diri sebagai topskor Italia di ajang sekelas Piala Eropa.

Ada kisah sentimentil lain: Pasca pertandingan melawan Jerman di semifinal Euro 2012 lalu, Balotelli sukses mencetak dua gol yang membuat Die Mannschaft angkat koper. Ketika banyak pemain Italia tengah bersuka cita karena telah menuju final Piala Eropa 2012, Balotelli justru pergi ke tribun penonton, menghampiri kedua orangtua angkatnya yang menontonnya sejak awal pertandingan. Balotelli lalu memeluk mereka, menangis bersama.

Pada momen sentimentil itu, ayah angkatnya berkata akan membawakan cokelat untuknya pada saat laga final melawan Spanyol. Meski akhirnya Balotelli gagal mengulangi penampilan impresifnya di semi final—Italia kalah telak 0-4—cokelat itu tetap dibawa sang ayah.

Tapi Balotelli adalah Balotelli, secermelang apa pun pesonanya, ia selalu menginginkan identifikasi yang berbeda dari persepsi orang kebanyakan. Pilihannya yang kerap menolak merayakan gol—meski di pertandingan penting sekalipun—bisa jadi adalah bentuk pengejewantahan diri paling magis yang pernah dilakukan seorang pesepakbola.

Dan tentu kita tak pernah lupa kaosnya yang bertuliskan “Why Always Me?” ketika mencetak gol ke gawang Manchester United. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada bentuk resistensi yang lebih telak yang pernah dilakukan pesepakbola lain dari apa yang telah dilakukan Balotelli, terhadap sikap media yang lebih senang menjual keburukan pemain ketimbang performanya di lapangan.

Pesona Balotelli atau Cobain memang tak ubahnya pesona seorang anti-sosial lain seperti Alcibiades, Errol Flynn, atau Mike Tyson: kita bisa mencintainya atau membencinya, tapi akan sulit untuk hidup tanpa (pemberitaan) nya. Balotelli, Cobain, atau bahkan Ted Kaczynski adalah orang-orang yang terlahir dengan cita rasa haute-cuisine: pesohor klasik yang tersaji dalam bingkai persona yang unik atau ekstrem.

Akan selalu ada banyak twist dalam setiap gerak-gerik maupun perkataan orang-orang macam itu. Cobain dengan kisah bunuh dirinya, Kaczynski melalui ledakan-ledakan dari bom yang dipasangnya, sementara Balotelli dengan metaforanya yang cerdas terkait keengganannya merayakan gol: “Tukang pos tak pernah berjingkrak-jingkrak setelah mengantarkan surat”.

Saya tak tahu sedang apa Balotelli sekarang saat saya sedang menulis artikel. Barangkali ia tengah berbincang di sebuah lounge mewah dengan M'baye Niang seraya menggoda perempuan-perempuan cantik di sana, atau sedang berlatih tarian Samba dengan Robinho, atau malah sedang menelpon ibu kandungnya yang jarang ia temui sambil sesekali menyeka air mata. Saya tak tahu. Tapi, jika boleh menebak, saya kira Balotelli saat ini sedang tertawa.

Source: bolatotal.com

Posted by capunx on Sabtu, April 13, 2013. Filed under , , , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Kurt Cobain dan Balotelli : Manifesto Anti-Sosial Seorang Pesohor"

Leave a reply

Capunx Inc.

Tags